Sore itu, aku dan beberapa teman bergegas dari kantor untuk menuju ke sebuah stasiun di bilangan Jakarta Pusat. Kami berencana untuk menjenguk salah satu teman yang lain yang sedang sakit. Perjalanan menuju stasiun tersebut tidak cukup lama, hanya butuh waktu sekitar 10-15 menit saja.
Sesampainya di sana, kami segera membeli tiket untuk menuju ke stasiun terdekat dengan rumah sakit di mana temanku dirawat. Tidak lama kemudian, kereta yang akan kami tumpangi datang, dan kami segera bergegas. Sepanjang perjalanan, kami banyak berbicara mengenai satu dan lain hal di dalam kereta. Perjalanan dengan kereta juga cukup lancar saat itu. Beruntung kami tidak harus menunggu kereta jarak jauh yang ingin mendahului.
Sesampainya di stasiun tujuan, stasiun akhir dari rute kereta tersebut, kami berjalan keluar stasiun dan menyusuri jalan raya menuju rumah sakit, yang berjarak tidak jauh dari sana. Beberapa bulan sebelumnya, aku memang pernah mengunjungi rumah sakit ini untuk menjenguk salah seorang kerabat ibuku. Dan kenangan itu terlintas lagi di bayanganku.
Dulu, aku datang ke rumah sakit ini bersama ibu dan adik laki-lakiku. Pertama kali datang, waktu itu hari masih siang. Tapi saat ini, kedua kalinya aku ke sini, hari sudah menjelang maghrib. Matahari sudah mulai beranjak turun perlahan.
Menginjakan kaki saat mulai memasuki gerbang rumah sakit ini, aku di sambut dengan pohon beringin yang berdiri tegak menjulang, dan besar tepat persis di depan gerbang. Ada yang berlari menyambutku datang. Aku pernah bertemu dengannya dulu. Tapi waktu itu, dia belum mengenalku. Dia hanya terkaget-kaget saat mengetahui aku bisa melihatnya. Tapi kini, ‘gadis kecil’ itu terlihat senang melihatku lagi setelah beberapa lama.
“Kamu ke sini lagi?!” ujarnya saat menghampiriku. Kubalas dengan senyum saat itu.
Kami melanjutkan langkah kami menyusuri lorong rumah sakit perlahan-demi perlahan. Keringat dingin perlahan meluncur deras dari dahi dan hampir sekujur tubuhku. Dan semakin deras sesat kami berhenti di depan lift, dan pintu lift terbuka.
“Apa aku harus naik tangga saja ya? Tapi temanku berada di lantai 4. Pasti sangat melelahkan sekali,” pikirku dalam hati setelah melihat apa yang sedang menantiku di dalam lift tersebut.
Aku putuskan untuk memaksa diriku memasuki lift itu. Namun aku memilih untuk tidak berdiri di dekat ‘mereka’. Ya, ‘mereka’. Lift tersebut berkapasitas untuk 10 orang. Namun, setelah diisi oleh hanya 6 orang, aku bersama ketiga temanku yang lain, dan dua orang pengunjung rumah sakit, lift tersebut membunyikan tanda bahwa lift telah ‘FULL’. Mungkin memang tidak masuk akal. Bahwa ‘mereka’ yang di dalam sana memiliki massa. Tapi, hal ini terjadi.
Perasaanku sangat berkecamuk saat itu. Sungguh tidak karuan. Mereka memiliki bau yang sungguh sangat tidak sedap. Bau anyir begitu semerbak di dalam lift itu. Aku tidak mau berkomentar satu kata pun mengenai mereka, sejujurnya. Rasa takut bercampur dengan iba sangat menyelimutiku saat itu. Keadaan mereka sangat memprihatinkan. Kupikir, mereka adalah mantan pasien rumah sakit ini yang meninggal karena kecelakaan. Luka yang masih menganga serta darah yang masih menempel di tubuh mereka membuatku iba melihatnya. Tapi tatapan mereka yang begitu tajam sungguh membuat nyaliku ciut dibuatnya. Mereka seakan-akan ingin menerkamku saat mata kami menangkap sosok satu sama lain. Tidak, kali ini aku tidak akan mendefinisikan bentuk mereka seperti apa. Aku saja tidak sanggup berkata-kata, miris sekali melihat kondisi mereka.
Setelah sampai di lantai yang kami tuju, aku bergegas keluar dari lift tersebut. Dan kami melanjutkan perjalanan menyusuri lorong kamar rawat inap tempat di mana temanku dirawat di sana. Perutku terasa mual. Hal ini biasa terjadi apabila energiku berbenturan dari energi negatif dari ‘mereka’ yang ada di sana. Apalagi ditambah bau anyir yang menusuk saat di lift tersebut. Hingga keringat dingin kembali menurun deras dari dahiku.
Ada satu hal yang aneh saat aku sampai di kamar temanku tersebut. Aku melihat sosok nenek-nenek sedang berdiri di depan pintu kamar. Nenek itu tampak tersenyum. Tapi jujur, saat itu aku tidak mengira kalau nenek tersebut adalah salah satu dari golongan ‘mereka’. Penampakannya begitu sempurna. Seperti pasien rumah sakit pada akhirnya. Hingga suatu ketika….
“Kemaren, pasien di sebelah kiri gue ini baru aja meninggal. Bikin gue nggak bisa tidur sih. Agak merinding juga kalau ngebayanginnya. Ditambah lagi pas malemnya gue tidur, pas gue dengerin lagu pakai headset, itu gue samar-samar denger suara orang ngaji. Padahal volumenya udah gue maksimalin. Mungkin karena gue masih kebayang keluarganya pasien di sebelah gue ini yang ngajiin kali ya,” temanku bercerita mengenai pengalamannya di sana.
“Tapi jelas banget soalnya suaranya. Samar-samar tapi gue yakin itu ngaji. Sampe gue baru bisa tidur pas menjelang pagi. Serem sih,” lanjutnya lagi.
Saat ia selesai bercerita, sang nenek yang kulihat di depan pintu itu tiba-tiba muncul dari balik gorden pembatas tempat tidur temanku dan pasien yang meninggal di sebelahnya. Padahal gorden dalam keadaan tertutup rapat saat itu. Sontak aku terkejut. Dan memalingkan pandanganku dari gorden tersebut. Inilah yang membuatku tersadar kalau nenek tersebut berbeda.
Jantungku mulai berdegup kencang. Pikiranku mulai tidak fokus. Nenek itu masih di sebelahku mendengarkan kami bercerita.
“Ya, namanya juga sudah tua ya. Kalau nggak salah umurnya 73 tahun,” tambah ibunya temanku yang dirawat.
Aku menengok ke arah nenek, dan nenek itu tersenyum kepadaku. “Apa mungkin yang dimaksud pasien yang baru meninggal itu si nenek ini ya?” pikirku lagi. Dan si nenek masih berdiri di sana. Di sebelah ranjang temanku, di dekat gorden pembatas mereka, dan tetap tersenyum.
Bahkan, hingga akhirnya kami harus berpamitan karena jam besuk pasien telah selesai, nenek itu masih di sana dan ikut serta mengantar kami keluar dari kamar. Namun anehnya, aku sudah tidak lagi merasa takut pada nenek tersebut.
“Damai di sana ya, Nek,” pesanku dalam hati sambil tersenyum padanya sebelum pergi.
/